Liburan di Banyumas



Banyak sekali hal yang harus Ayah dan Mama lakukan di keluarga baru kita. Salah satunya mengenalkan dan mengakrabkan kamu dan kakakmu kepada keluarga besar Mama di Banyumas. Bagaimana pun keluarga Mama sekarang sudah menjadi keluarga kalian dan kalian sudah menjadi bagian dari keluarga besar Mama. Itu sebabnya saat liburan tiba Mama mengajak kalian menginap di rumah orang tua Mama (Mbah Kakung dan Mbah Putri kalian) di Banyumas.

Berlibur bersama Ayahmu, okelah. Apa pun masalah kamu selama di tempat berlibur bisa ditangani. Kali ini Mama hanya mengajak kamu dan kakakmu ke Banyumas. Dari Bekasi Mama dan Mbakmu Nimas bertolak ke Jogja untuk menjemputmu. Sore harinya langsung ke Banyumas. Menunggu waktu berangkat, kamu tampak seperti tidak sabar. Apalagi waktu Mama cerita kalau nanti kamu akan diajak ke waterboom.

Ayo to, Ma!” ajakmu.

Kamu sampai nggak mau makan siang karena pengen segera berangkat. Akhirnya Mama meminta Budemu menyiapkan bekal makan, siapa tahu nanti kamu mau makan di bis. Benar saja, begitu sudah naik bis, tidak berapa lama kemudian kamu minta makan. Karena kamu duduk sebangku dengan Mbak Nimas, Mbakmu ini yang bertugas menyuapimu makan. Mama yang duduk di bangku sebelahmu hanya tersenyum puas karena akhirnya kamu mau makan juga. Mama nggak akan tenang kalau sampai perutmu kosong nggak mau diisi. Selama perjalanan alhamdulillah kamu tidak rewel. Kamu yang duduk di dekat jendela banyak memandang keluar sampai akhirnya tertidur berdua bareng kakakmu.

Sampai di Banyumas sore hari, bakda ashar. Meski dengan berbagai cara Mama dan Mbak Nimas mengajakmu mandi, kamu tetap tidak mau mandi. Akhirnya Mama hanya mengganti bajumu dan membaluri tubuhmu dengan minyak kayu putih. Makan malam lancar. Tidur malam tidak masalah. Tidak mengompol pula.

Keesokan harinya kita pergi ke tempat wisata Owabong, sebuah wahana permainan waterboom terbesar di Purbalingga, dekat Banyumas. Awalnya Mama sempat sedikit ragu apa mampu menanganimu tanpa Ayah. Selama ini kalau ada apa-apa selalu Ayah yang kamu cari. Ayahmu paling tahu bagaimana menanganimu saat kamu merajuk, menangis, cemberut, bahkan marah. Mama belum berpengalaman menanganimu sendirian. Namun, kehadiran kakakmu Nimas sedikit membantu dan membuat Mama tenang. Setidaknya kakakmu sudah terbiasa pula berhadapan denganmu meski kadang kalian juga suka bertengkar. Namun, bagaimana pun Mama yakin kakakmu sayang sama kamu. Jadi nggak mungkin sengaja menyakitimu, apalagi jarak usia kalian terpaut jauh sehingga kakakmu lebih bisa “ngemong” sama kamu.

Di Owabong kamu tampak cerah ceria meski harus ekstra dalam membujukmu bermain di wahana tertentu. Saat masuk kolam renang tidak ada masalah, tapi saat diajak masuk tempat seluncur kamu takut. Kakakmu yang berusaha membujukmu sedemikian rupa tetap tidak kamu gubris. Gigimu sudah mulai “gemeletukan” tanda kamu sudah kedinginan. Mama mengajakmu naik dan berganti pakaian karena Mama tidak ingin kamu sakit, tapi kamu tidak mau. Kamu sepertinya masih merasa enjoy di air. Namun, nggak seru dong kalau cuma jalan ke sana kemari tanpa berani ambil tantangan mencoba wahana permainan tertentu.

Sampai akhirnya Mama melihat balon bulat besar yang diisi dua orang lalu dilarungkan di tengah kolam renang. Mama bertanya harga tiket ke petugasnya. Sepuluh ribu. Masih terjangkau. Batin Mama.  Mama dan Mbak Nimas kembali membujukmu untuk mencoba permainan ini.

“Nggak apa-apa, kan sama Mbak Nimas.” Bujuk Mama dan Mbak Nimas.

Kamu masih bergeming. Mbakmu sampai gemes karena dia sudah keburu pengen mencoba permainan ini. Kami tetap berdiri di pinggir kolam itu melihat-lihat orang-orang yang keluar-masuk balon besar itu. Lama-kelamaan kamu mulai tertarik. Mama pun langsung lari mengambil uang di tas Mama. Selama berbasah-basahan di kolam Mama memang sengaja tidak memegang uang.

Begitu tiket sudah di tangan, kamu dan Mbak Nimas pun mulai masuk ke balon lewat resleting balon yang tersedia lalu kembali dipompa agar mengembung. Setelah mengembung penuh baru kalian berdua dilarungkan ke tengah kolam oleh petugasnya. Kamu tampak senang dan menikmati permainan ini. Kamu seolah lupa dengan penolakanmu sebelumnya. Sayang waktunya hanya sebentar, cuma 10  ̶  15 menit. Begitu kamu ditarik lagi ke pinggir kolam oleh petugasnya, kamu pun keluar. Namun, apa yang terjadi selanjutnya?

“Ma, Dhimas mau naik balon lagi!” pintamu.

Wadow. Tadi nolak-nolak, begitu sudah main ketagihan. Mama minta Mbak Nimas menemanimu masuk balon lagi, tetapi Mbakmu nolak. Akhirnya Mama yang menemanimu masuk balon. Yah, empat tiket sekaligus deh untuk satu wahana permainan. Kamu begitu ceria berada di dalam balon apalagi saat kita jatuh bareng di tengah, kadang kepala kita sampai berbenturan. Kamu malah tertawa ngakak. Yah, untuk mengubah posisi balon agar dapat berjalan di air, kita harus ekstra keras menggeser posisi tubuh kita ke kanan atau ke kiri hingga kadang tubuh kita berbenturan di satu titik. Mama menggeser tubuh ke kiri otomatis tubuhmu akan terbawa ke kiri hingga tubuhmu pun jatuh menimpa tubuh Mama. Inilah sensasi yang justru membuatmu senang dan tertawa-tawa lepas.

Waktu rasanya cepat berlalu. Tidak terasa teman-teman yang serombongan dengan kita sudah pada selesai mandi dan berenang. Kita bertiga masih di kamar mandi saat rombongan meninggalkan wahana Owabong. Kita sampai dijemput sama Pakde Afid (kakak Mama). Kita harus berjalan cukup jauh ke tempat parkir mobil. Tidak sebebas kalau pergi tamasya sendiri sih, tapi lumayanlah.

Keesokan harinya, kita sama-sama menunggu kedatangan Ayah dari Bekasi. Saat kamu bermain dengan Mas Ghaza dan Ghazi, si kembar anak Bude Rohmah (kakaknya Mama), ingatanmu sedikit terlupakan tentang Ayah. Begitu mereka bermain sendiri dan meninggalkanmu di rumah, kamu beberapa kali nanya ke Mama kapan Ayah datang.

“Sedang dalam perjalanan, Sayang. Mungkin nanti siang sampai,” jawab Mama.
Ayahmu mengendarai motor dari Bekasi, diperkirakan menempuh perjalanan sekitar 6 ‒ 7 jam, kalau tidak macet atau ada halangan di jalan. 

Suwi banget, to[1],” ucapmu taksabar.

“Sekarang bobo dulu aja, yah,” kata Mama mengajakmu tidur sambil mengelus-elus rambutmu.

Biasane nek neng Jogja, Dhimas lagi bobo Ayah teko.[2]” Rupanya kamu teringat Ayahmu yang biasa memakai kereta malam dari Bekasi dan sampai di Jogja pagi hari.

Mungkin kamu nggak mau tidur karena takut Ayahmu datang saat kamu tidur sehingga nggak bisa melihat Ayahmu langsung.

“Ya udah, sekarang tidur. Kalau nunggunya sambil tidur kan nggak terasa tahu-tahu Ayah datang. Kalau nggak tidur nunggunya jadi terasa lama. Ntar kalau Ayah sudah datang Dhimas dibangunin, deh,” kata Mama terus mengelus-elus rambutmu agar kamu terlelap tidur.

Kamu hampir menangis saking tidak sabarnya menunggu kadatangan Ayahmu. Air matamu pun mulai mengalir di kedua pipimu. Mama mengelus-elus rambutmu lagi sambil memperlihatkan video-video hasil shooting-an Ayahmu di HP Mama. Ada kamu waktu ziarah ke makam ibumu, ada Mbakmu Nimas waktu nangis di pesantren saat ibumu yang sedang sakit tidak bisa menjenguknya, ada gambar-gambar di sekolah TK-mu, dan lain-lain.

Mungkin matamu lama-lama merasa lelah sehingga takterasa mulai tertidur. Sekitar satu jam kemudian Ayahmu datang. Ayah langsung menemuimu di kasur dan menciumi pipimu lalu memeluk tubuhmu (bahasa Jawa “ngeloni”). Rupanya Ayahmu pun sudah sangat rindu sama kamu, Le. Kamu pun bangun. Melihat Ayah, wajahmu langsung cerah ceria. Kamu langsung mengajak Ayahmu main bola. Kamu memperlihatkan sepatu merah yang Mama belikan tadi malam di mal Sumpiuh. Bude-Pakdemu mengajak ke mal bareng Mas Ghaza-Ghazi dan Mas Senja. Rencananya Mama mau membelikan baju daleman buat kakakmu, eh malah kamu ikutan minta beliin baju. Pilih sana-sini nggak nemu baju yang kamu suka malah nunjuk sepatu.

Iku Ma, sek abang[3],” ucapmu sambil menunjuk sepatu kecil warna merah di rak atas.

Pagi harinya langsung kamu pakai buat main bola sama Mas Ghaza-Ghazi dan siangnya buat main bola sama Ayah. Ayahmu yang masih capek, apalagi tujuh jam mengendarai sepeda motor, tetap memenuhi permintaanmu bermain bola. Ayah tidak mau mengecewakanmu. Begitulah Ayahmu, selalu ingin membuatmu senang, bahagia, dan ceria, meski harus berlelah-lelah. Bisa jadi, menurut Ayahmu kamulah hiburannya, kamu yang membuat lelah Ayah terobati. Bersyukurlah memiliki ayah seperti Ayahmu, Le. 

Begitu Ayahmu datang, kembali semua “serba ayah”. Mau makan minta disuapi Ayah, mau mandi minta dimandiin Ayah. Mama sama sekali “nggak laku” buatmu.

“Belum jinak,” kata Ayahmu menggambarkan kondisi dirimu saat itu. “Nanti kalau sudah jinak pasti akan tiba masanya semua serba mama,” sambung Ayahmu.

Mama rindu masa-masa itu, Le. Mama ingin mengurusmu, membuatmu dekat dan lengket sama Mama, membuatmu nyaman bersama Mama. Namun, selama ada Ayah, Mama sama sekali nggak laku bagimu.

“Selama ini kan yang didekati baru yang gede (maksudnya Mbak Nimas), jadi yang jinak juga baru yang gede. Pelan-pelan Dhimas juga bakal jinak, kok,” kata Ayahmu.@




[1] Lama sekali, sih.
[2] Biasanya kalau di Jogja, Dhimas lagi bobo Ayah datang.”
[3] Itu Ma, yang merah.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Kamu Curhat

Mama Bermain Bola? Lucu Kali, Ya?

Lomba Lari