Lomba Lari


“Kok Dhimas bisa nurut sama Mbak?” tanya tetangga belakang rumah Mbok Tuwa saat melihat Mama dan kamu duduk-duduk di samping rumah Mbok Tuwo.

“Ya, Alhamdulillah, jodoh kali, Bu,” kata Mama.

“Biasanya kalau sama Budenya boro-boro mau nginap, lho Mbak,” cerita tetangga itu. “Paling-paling sampai di samping rumah trus minta pulang. Dibilangin dan dibujuk bagaimana pun nggak mau aja. Malah lari ke jalan depan sana sambil ngambek,” lanjut Ibu itu sambil menunjuk jalanan menurun di samping rumah Mbok Tuwa. “Lha kok, sama Mbak mau diajak nginep di rumah Simbok.”

Mama hanya tersenyum. Di satu sisi Mama bahagia karena ternyata kamu bisa benar-benar merasa dekat dan nyaman dengan Mama sehingga di mana pun Mama berada kamu tetap mau tinggal, sekalipun di tempat yang sebelumnya nggak mau kamu tinggali. Yah, memang selama ini kamu mau nginep di rumah Simbok hanya kalau ada Ayahmu.

Saat itu Mama dan kamu sedang menunggu dijemput Masmu Angga untuk kembali ke rumah Budemu. Besok kamu harus sekolah, jadi sore ini sebaiknya kita kembali ke rumah Bude. Jemputan yang ditunggu-tunggu tidak datang-datang juga, malah ada kabar via sms kalau penjemputnya nggak bisa jalan karena di sana hujan gede. Sudah dipastikan kamu bakal ngambek. Simbok sampai bilang, “Di-sms wae nek bocaeh njaluk tetep dijemput. Nangis.[1]

Mungkin karena selama ini kamu sulit dibilangin dan dibujuk, makanya Simbok minta bagitu. Buat Mama sebagai seorang ibu, inilah tantangannya. Mama tahu risikonya kalau tetap meminta Mas Angga (anaknya Bude) menjemputmu dalam kondisi hujan begini, kamu juga bakal kebasahan. Bisa jadi malah membuatmu sakit. Mama berusaha bagaimana caranya membujukmu agar mau menginap semalam lagi di rumah Mbok Tuwamu. Kamu sudah mulai merajuk, turun dari pangkuan Mama dengan tangan mengusap-usap air matamu. Ini kebiasaanmu dari dulu, nggak pernah nangis keras memang, hanya keluar air mata, tapi justru ini yang bikin orang-orang di sekitarmu sering merasa tidak berdaya melihatmu begini. Khawatir kamu malah sesak dada karena nahan sedih dengan tangis yang tertahan seperti itu. Kalau menangis keras sekalian malah bikin lega hati mesti jadi polusi suara bagi pendengarnya.

“Belajar sabar, yo Le,” kata Mama pelan di telingamu. “Anak sabar disayang Allah.”

Kamu tetap nangis mingsek-mingsek. Mama mengangkat tubuhmu kembali ke pangkuan Mama lalu berdendang lagu di video BUBI yang sering kamu setel dari laptop Mama, “1…2…dan 3…4…5….6…” dan seterusnya….dengan menggoyang-goyangkan tubuhmu di pangkuan Mama. Kamu masih bergeming.

“Eh, tadi Dhimas kan minta jajan tapi nggak jadi, ya? Kita jajan sekarang, yuk!” ajak Mama.

Kamu langsung beranjak dan keluar rumah bareng. Tetangga rumah yang dari tadi melihat adegan kita hanya tersenyum. Begitu sampai di jalan yang lumayan menurun, Mama ngajak kamu lomba lari bareng Mama. Apalagi gerimis mulai besar.

“Hayu balap lari!” ajak Mama.

Kamu tampak semangat mengejar Mama yang sudang berhenti menunggumu. Eh, kamunya malah terus berlari meninggalkan Mama. Kamu sudah mulai tertawa riang. Mama bahagia melihatnya. Warung terdekat hanya menjual jajanan sedikit. Tidak ada pilihan, jadi kamu hanya beli biskuat dan pasta gigi anak. Kembali pulang Mama mengajakmu lomba lari lagi. Kamu begitu semangat untuk terus berlari, bahkan pada jalanan yang menanjak. Mama sampai terengeh-engeh. Mama tertinggal jauh darimu. Alhamdulillah, akhirnya kamu nggak ngajak balik lagi ke Bude Harti.

Sore menjelang magrib, saat Mama menyuapimu, kamu kembali teringat ke Bude Harti. “Ma, pulang!” pintamu sambil main game di laptop Mama.

“Malam ini kita nginep di sini, sayang,” besok pagi baru dijemput.

“Nginep neng kene?”[2] tanyamu memastikan sambil melihat tempat tidur yang dipakai semalam. Selembar kasur Palembang ukuran sigle yang dialasi tikar. Itulah tempat tidur kita. Memang berbeda dengan kondisi kamarmu di rumah Bude yang dialasi kasur empuk. Meski demikian, semalam kamu tidur nyenyak tuh, bahkan sampai ngompol.

“Nggak papa, sayang. Kan ada Mama. Mama akan selalu siap menemanimu,” kata Mama sambil memelukmu.

“He..eee…muleh wae!”[3] katamu mulai merajuk.

“Di luar hujan, sayang. Kalau kita pulang hujan-hujan gini, ntar Dhimas sakit. Mama nggak mau Dhimas sakit. Mama kan sayang Dhimas. Kalau Dhimas sakit ntar Mama sedih, Mama nangis. Kalau Dhimas sakit ntar nggak jadi ke Bekasi dong ketemu Ayah sama Mbak Nimas,” kata Mama mencoba merayumu. Kamu diam dengan wajah ditekuk. Mama tahu kamu belum bisa menerima keputusan Mama untuk menginap di Mbok Tuwa semalam lagi. Namun, kamu nggak ngambek ekstrim saja Mama sudah senang melihatnya.

“Mama shalat magrib dulu, ya!”

Kamu tidak menjawab, tetap melihat ke laptop dengan wajah ditekuk. Usai shalat Mama berdoa agar Allah melunakkan hatimu untuk tidak marah dan ngambek. Tidak berapa lama kamu berdiri lalu mematikan semua lampu listrik di rumah Simbok sambil tertawa-tawa. Rupanya kamu sudah sedikit ceria, tapi pelampiasan sikapmu jadi sedikit aneh. Mbok Tuwa sudah mengingatkanmu berkali-kali agar jangan memainkan saklar listrik, kamu nggak peduli. Sebentar dimatiin, sebentar dinyalain.

Mama tetap melanjutkan shalat sunah. Usai shalat baru Mama menyuruhmu menghidupkan kembali lampu listriknya. Kamu pun langsung menghidupkannya. Keceriaanmu semakin mengembang waktu mama mengajakmu nonton Geng Pengembaraannya Ipin-Upin, film kesukaanmu. Kadang berganti dengan film lain, yaitu Bubi Beruang.

Sesekali kamu naik ke punggung Mama yang lagi duduk-duduk. Rupanya kamu suka main kuda-kudaan. Baiklah, Mama siap jadi kudanya. Haiya… Mama mulai menggendongmu di punggung, menggerak-gerakkan tubuh mungilmu dengan kedua tangan Mama di belakang. Kamu pun tertawa lepas kegirangan. Bahagia rasanya mendengar tawamu yang lepas. Seolah kamu sudah benar-benar lupa dengan kesedihanmu tadi sore karena tidak jadi tidur di rumah Budemu.

Tiba-tiba HP Mama bunyi, rupanya dari Ayahmu. Mama berbicara banyak dengan Ayahmu tentang kabar Mama dan kamu, terutama suasana hatimu. Kamu sesekali main bola di rumah Mbok Tuo yang tanpa sekat hingga kamu leluasa bermain ke sana kemari. Kadang suaramu keras melengking seolah sengaja agar ayahmu mendengar celotehmu. Namun, anehnya setiap kali ayahmu mengajakmu ngobrol lewat telepon kamu tidak pernah mau. “Iki robot,”[4] katamu sambil tertawa-tawa riang di dekat HP Mama. Tentu saja ayahmu mendengarnya, ayahmu senang bisa mendengar suaramu, Le. Namun, seperti biasa, begitu Mama mendekatkan HP ke telingamu kamu langsung menolak. Hal inilah yang membuat Ayahmu sedih, Le. Ayah sering kangen sama kamu, Le, tapi selama ini Ayah tidak berdaya dan terpaksa harus jauh darimu.

Lama berbicara di telepon, tiba-tiba kamu ikut nimbrung bicara sepatah-sepatah kata di dekat Mama, sengaja agar Ayah mendengarmu.

“Ayah nanya ntar kalo Dhimas di Bekasi mau minta beliin apa?” kata Mama.
Kamu seperti berpikir… “Bakugan,” celetukmu beberapa saat kemudian. “Minta bakugan, katanya, Yah,” jawab Mama di telepon.

“Warna apa?” Tanya ayahmu.

“Kata ayah, warna apa, Mas?”

Daripada bolak-balik Mama kasih tahu pertanyaan Ayahmu, akhirnya Mama mendekatkan HP ke telingamu langsung. “Merah,” jawabmu. Terjadi sedikit dialog antara kamu dan Ayah di telepon. Ayah seneng banget kamu sudah mau bicara di telepon. Ini untuk kedua kalinya kamu mau diajak bicara di telepon oleh Ayahmu selama kamu dititipkan untuk dirawat oleh Budemu. Pertama, waktu Mama dan Mbakmu Nimas liburan di rumah Bude. Kamu begitu senang kami datang hingga saat Mbak Nimas menerima telepon dari Ayah kamu mau ikut bicara dengan ayahmu.

Hanya dalam kondisi hati benar-benar ceria kamu bisa diajak dialog dengan Ayahmu lewat telepon. Hal inilah yang membuat Ayahmu sedih, Le. Betapa Ayahmu selalu memikirkanmu sampai jarang bisa tidur lelap di malam hari. Betapa ingin Ayahmu memeluk dan berdekatan denganmu setiap hari. Namun, apa daya jarak telah memisahkan kita. Semoga ini tidak lama, Le. Ayah dan Mama sedang berusaha meyakinkan Mbok Tuwa dan Budemu agar mengizinkan kami mendidik dan mengurusmu di Bekasi, di rumah kita.@



[1] Di-sms aja kalau anaknya tetap minta dijemput. Nangis.
[2] Menginap di sini?
[3] He… ee... pulang aja!
[4] Ini robot.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Kamu Curhat

Mama Bermain Bola? Lucu Kali, Ya?