Salahkah Mama Mencintai dan Menyayangimu?


“Sejak kamu di sini, Dhimas sama sekali nggak mau deket lagi sama Mbakyunya, Hertin? Mbok kasih waktu buat Hertin deket lagi sama Dhimas,” kata Budemu seolah menyalahkan kedekatan Mama denganmu.

Sejak ibu kandungmu meninggal, Bude Harti memang yang mengasuh kamu. Maklum, Ayahmu berangkat kerja pagi banget, apalagi perjalanan Ayahmu ke tempat kerja lumayan jauh, sekitar dua jam. Pulang kerja sampai di rumah isya. Tentu Ayahmu tidak punya waktu buat ngurus kamu selama ditinggal di rumah. Dengan sangat terpaksa Ayahmu menitipkan pengasuhanmu kepada Budemu meski sangat berat pula bagi Ayahmu untuk hidup berjauhan darimu.

Tiga bulan setelah ibumu meninggal, Ayahmu menikahi perempuan bernama Indah, Mamamu ini. Sejak saat itu, Mama mulai masuk dalam kehidupanmu meski hanya sesekali datang mengunjungimu saat liburan bersama Ayah dan mbakmu Nimas. Dua kota yang saling berjauhan memisahkan kita. Kami terpaksa harus meretas rindu dalam gumpalan kasih sayang kepadamu. Sementara Mama harus melakukan “pendekatan intensif” dengan kakak perempuanmu, Nimas, yang masih sangat sedih kehilangan ibu kandungnya, ibu kandungmu juga. Nimas kakakmu ini boleh dibilang lebih sensitif darimu, apalagi usianya sedang menginjak remaja. Mama khawatir terlambat melakukan “pendekatan” hingga Mama akan lebih sulit lagi dekat dengannya.

Setelah kurang lebih sembilan bulan Mama “mendekatkan diri” dengan kakakmu dan mulai terlihat hasilnya, kini Mama punya tugas baru, yaitu melakukan pendekatan denganmu. Kakakmu, saat pertama Mama mengenalnya sangat pendiam. Boro-boro mau curhat sama Mama, bicaranya pun hanya sesekali kalau ditanya oleh Mama atau Ayahmu. Cukup lama Mama melakukan pendekatan dan memberikan perhatian serta kasih sayang Mama untuknya. Kini, dia sudah mulai tampak ceria (kata Ayahmu sudah seperti dulu sebelum ibumu meninggal). Dia sudah mau curhat sedikit-sedikit sama Mama dan berani minta langsung apa yang dibutuhkannya sama Mama. Kalau tidur bareng Mama sudah berani meluk Mama, minta dielus-elus rambutnya sama Mama kalau mau tidur. Kondisi ini sudah sangat membuat Mama bahagia. Bahkan, Ayahmu sampai merasa sedikit cemburu.

“Sekarang, Nimas kalau ada apa-apa urusannya sama Mama. Ayahnya sudah nggak dibutuhkan lagi kayaknya, yah? Jadi kengen pengen ditelpon sama Nimas,” kata Ayahmu.

Dulu, kalau ada apa-apa mbakmu Nimas yan tinggal di pesantren pasti telepon sama Ayahmu di kantor. Sejak ada Mama, mbakmu teleponnya ke rumah, ketemu Mama.

Ah…. Sudah nggak sabar rasanya pengen memelukmu, menciummu, mengelus-elus rambutmu saat mau tidur, dan membacakan cerita-cerita kesayanganmu.

Di satu sisi Mama juga berat meninggalkan Mbakmu Nimas yang biasanya Mama tengok seminggu sekali di pesantren bareng Ayahmu. Khawatir kondisi jiwanya yang mulai membaik akan nge-droup lagi. Mama juga merasa berat harus terpisah jauh dari Ayahmu, begitu pun Ayahmu. Tidak ada lagi yang memasak dan menyediakan makan untuk Ayahmu, tidak ada lagi yang mengantar dan menyediakan keperluannya saat berangkat kerja dan menyambutnya di rumah sepulang kerja. Belum lagi, Ayah dan Mama harus saling memendam rindu untuk jangka waktu yang lumayan lama, setidaknya sampai kamu masuk sekolah dasar. Itu berarti sekitar satu tahunan karena kamu sekarang baru masuk TK. Namun, bagaimanapun kami harus mengambil keputusan ini. Tinggal berjauhan di dua kota demi menunaikan kewajiban mengasuh dan mendidikmu.

Begitu waktu yang dirasa tepat untuk mulai membentangkan lautan cinta untukmu dengan segenap jiwa dan raga Mama, Mama dan Ayahmu pun pergi menemuimu di rumah Budemu. Sesekali kami mengajakmu menginap di rumah kakek dan nenekmu yang jaraknya sekitar 20 kilo dari rumah Budemu.

Selama ada Ayah, biasanya kamu sama sekali nggak mau dipegang sama Mama, nggak mau disuapin Mama, dimandiin Mama, dan sebagainya. Semuanya selalu “Ayah” yang kamu inginkan. Hal ini sempat membuat hati Mama “ciut”. “Mampukah Mama menjadi ibu yang baik untukmu?” tanya Mama dalam hati. Budemu saja butuh waktu lama untuk “menaklukkanmu”. Apalagi Mama yang baru beberapa kali bertemu denganmu.

Bismillah. Ya Allah, bentangkan lautan kasih sayang di hati ini untuk kedua anak hamba ini. Anak yang Engkau amanahkan kepada hamba meski tidak lahir dari rahim hamba. Tumbuhkan pula kasih sayang mereka untuk hamba agar memudahkan hamba menunaikan kewajiban mendidik dan mengarahkan mereka, ya Allah. Biarkan cinta dan kasih sayang di hati kami tumbuh subur dalam ladang keimanan kepada-Mu, ya Allah.
###

Saat cuti Ayahmu habis, Ayah kembali ke rumah kita di Bekasi untuk bekerja. Mama ditinggal di sini bersamamu, di rumah Bude. Lambaian tangan perpisahan mengantarkan kepergian Ayahmu yang mengendarai sepeda motor ke kota yang sangat jauh tempatnya dari tempat tinggal Budemu ini. Dari Jogja ke Jawa Barat. Kamu tidak menangis, mungkin karena ada Mama di sini untukmu.

Mama nggak tahu bagaimana memulai “pendekatan” denganmu. Hal pertama yang ingin Mama lakukan adalah membuatmu merasa dekat dan nyaman bersama Mama. Selama beberapa hari Mama selalu bersamamu, alhamdulillah, sepertinya kamu sudah mulai merasa nyaman bersama Mama. Kamu begitu lengket hingga di mana ada kamu di situ ada Mama. Kamu yang biasanya sudah nggak mau lagi dimandiin sama siapa pun di rumah Bude, baik oleh Bude, Pakde, Mbak Hertin dan Mas Angga (kedua anak Bude)‒sekarang mau dimandiin sama Mama. Entahlah, apa ini namanya menurunkan level kemandirianmu atau bentuk keinginanmu untuk selalu dekat dan disayang Mama. Kini, semua urusanmu di-hendle oleh Mama, kecuali memasak keperluan makanmu, Budemu tetap lebih jago. Mama bahagia akhirnya bisa dekat denganmu. Dengan jauh dari Ayah, kita malah bisa dekat secara lebih intens. Kalau ada Ayah, mungkin kamu masih akan tetap mengandalkan Ayah.

Namun, ada satu hal di luar dugaan Mama sebelumnya, bahkan dugaan orang-orang dekatmu, termasuk Ayahmu, kedekatan kita ternyata membuatmu tidak mau lagi didekati oleh Mbakmu Hertin dan Bude Harti. Mereka sampai sedih melihatmu terus menjauh dari mereka. Tentu saja mereka tidak bisa menyalahkanmu karena kamu hanya anak kecil. Maka, Mamalah orang yang dinggap tepat untuk “disalahkan” dalam hal ini. Kehadiran Mama di rumah Budemu untuk mengasuh, mendidik, dan menyayangimu ternyata diterima berbeda oleh mereka. Pola didik dan pendekatan Mama yang berbeda dengan cara mereka mendidikmu selama ini juga menjadi “sumber” protes mereka. Mama mengajakmu tidur siang sepulang sekolah hingga kamu sering tidak punya waktu bermain di luar membuat mereka berfikir telah mengekangmu.

“Anak seumur Dhimas itu kan lagi seneng-senengnya main di luar. Biasanya dia main sepeda di luar. Kok dikurung di rumah sampai nggak mau keluar? Apa nggak kasihan.” Begitu protes Budemu sama Mama dengan emosional.

Mama hanya diam. Kalau Mama membalas dengan berbicara ini-itu saat Budemu sedang emosional seperti itu, khawatir malah membuat Mama terbawa emosi dan salah bicara hingga menyakiti Budemu. Kalau toh tidak salah bicara, khawatir Budemu salah menerima apa yang Mama maksud sehingga terjadi salah paham. Sebagai tindak “keamanan”, Mama lebih memilih “diam” sementara sampai kondisi membaik dan Budemu sudah tenang hatinya.

Kalau Mama bicara tentang pentingnya tidur siang bagi anak, baik menurut kesehatan maupun perkembangan otak anak, rasanya tidak mungkin. Bisa-bisa Mama dianggap “keminter” atau “sok pinter”. Apalagi, dalam soal mengasuh anak Budemu lebih berpengalaman karena sudah memiliki dua anak yang telah beranjak dewasa. Sedangkan Mama belum pernah punya anak atau adik. Mama memang pernah mengasuh anak jalanan dan menjadi pengurus santri mukim, tetapi Budemu kan nggak tahu itu dan nggak perlu tahu.

Mama akan menuliskan pentingnya tidur siang untuk anak yang Mama dapatkan dari internet, sekadar untuk pengentahuan buatmu, Le.

Manfaat Tidur Siang Bagi Anak

Tidur siang dan tidur malam mempunyai manfaat sendiri-sendiri, jadi jangan abaikan dan remehkan dari kegiatan yang satu ini.

Definisi tidur adalah proses normal tubuh manusia saat beristirahat. Namun, saat tidur kegiatan bernapas, pengaturan suhu tubuh, dan mekanisme otot tetap berfungsi.

Kualitas tidur yang baik adalah cukup waktu, tidak terlalu lama dan tidak terlalu sebentar. Untuk usia prasekolah, waktu yang dibutuhkan ketika tidur siang sekitar 1,5 – 2 jam. Untuk batita sekitar 2 – 3 jam. Kebutuhan tidur siang berbeda-beda pada setiap tingkatan usia. Semakin bertambah usia, kebutuhannya akan tidur siang semakin berkurang. Hingga memasuki usia 7 tahun, umumnya anak sudah tidak membutuhkan tidur siang lagi, walaupun ada beberapa anak usia sekolah yang masih melakukan kegiatan tidur siang.

Jenis-jenis tidur dibagi menjadi 2, yaitu

Tidur REM (Rapid Eye Movement)

Tidur REM sering disebut tidur aktif atau tidur mimpi walau saat terbangun belum tentu mimpi itu bisa tersimpan dalam memori kita. Cirinya, mata bergerak dengan cepat sewaktu mimpi berlangsung. Gelombang-gelombang di otak pun dalam posisi berjaga selama tidur dan sebagian besar dari wilayah otak termasuk sensor dan motor korteks tetap aktif.

Tidur NREM

Tidur ini merupakan kondisi tidur yang tenang. Tidur NREM biasanya ditandai dengan mata tidak bergerak cepat saat tidur. Suhu tubuh dan tekanan darah anak menurun. Napasnya menjadi teratur dan lambat. Tidur NREM bermanfaat untuk memberikan pemulihan dan ketenangan secara keseluruhan pada tubuh dan otot-otot. Pada anak-anak, tidur NREM bermanfaat untuk menstimulasi hormon yang berguna bagi pertumbuhan fisiknya.

Dari dua jenis tidur tersebut, tidur siang termasuk golongan tidur aktif (REM) dengan komponen REM yang lebih banyak dan metabolisme otak berlangsung sangat efektif. Dampaknya sangat baik untuk korteks otak, terutama untuk meningkatkan kemampuan belajar dan mengembangkan intelektual. Kondisi ini berbeda dari tidur pada waktu malam yang komponen NREM-nya lebih tinggi dari komponen REM. Jadi, tidur siang tidak dapat digantikan dengan tidur malam atau kegiatan apa pun lainnya.
Manfaat lain yang diperoleh dari tidur siang adalah mengembalikan kondisi fisik dan mental, mudah berkonsentrasi, mudah berkomunikasi, dan mudah menangkap pembicaraan serta mudah untuk beradaptasi. (Sumber: www.mediapendidikan.co.nr)

Dr. Brian Crosby dari Pennsylvania State University bahkan meneliti beberapa anak yang tidak tidur siang cenderung menunjukkan gejala psikologis yang buruk. Tidur siang, katanya bisa meredam perilaku hiperaktif, gelisah, dan depresi pada anak. (Sumber: Wolipop.com)


Menurut cerita beberapa orang, termasuk Mbok Tuwa (nenekmu) dan Pak Tuwa (kakekmu), kalau kamu diajak tidur siang sama Budemu sering kabur lewat jendela saat Bude yang menemanimu tidur sudah terlelap tidur. Karena itu, ketika kamu ternyata mau diajak tidur siang sama Mama dianggap Mama sudah memaksamu tidur hingga menghilangkan waktu bermainmu.

“Dhimas jangan dipaksa-paksa buat belajar, biar sesuai keinginannya sendiri.” protes Budemu lagi.

Padahal Mama belum pernah memaksamu belajar ini dan itu. Kamu memang suka dengan buku-buku, hanya saja selama ini tidak ada yang mendekatkanmu dengan barang kesukaanmu itu. Dulu, sebelum ibumu meninggal dan kamu masih tinggal bersama Ayah-Ibumu, Ayahmu sering membacakan cerita untukmu menjelang tidur. Kini, Mama ingin meneruskan apa yang sudah dilakukan Ayahmu dulu yang mungkin sudah kamu rindukan. Namun, ternyata diterima berbeda oleh Budemu. Mama dianggap memaksa kamu belajar hingga menjelang tidur pun dibacakan ini-itu. Padahal, Mama justru sedang mendekatkanmu dengan apa yang kamu sukai. Lagipula, di luar sana banyak orang tua yang melakukan hal yang sama untuk meninabobokan anak. Kondisi ini, selain bisa dijadikan sarana mengajarkan nilai-nilai tertentu kepada anak lewat bacaan, juga bisa mendekatkan emosional orang tua kepada anak.

Ma, ngko wacak’ke cerita, ya, nek arep bobo![1]” begitu pintamu menjelang tidur.

Kamu sendiri yang minta, kami sebagai orang tua hanya memberikan fasilitas buku bacaan yang sekiranya bagus untukmu.

Hal seperti inilah yang nyaris tidak kamu dapatkan selama kamu tinggal di rumah Budemu ini. Maklum, Budemu ini pekerja keras yang harus menghidupi seluruh keluarganya, baik suami dan anak-anaknya, bahkan Mbok Tuwa dan Pak Tuwa pun bergantung secara ekonomi kepada Budemu ini. Budemu tidur sering larut malam, bisa pukul 12 malam atau bahkan pukul 01.00 dini hari untuk membuat masakan yang akan dijualnya pagi hari. Lalu, bangun sekitar pukul 04.00 pagi untuk menyiapkan dagangannya. Sekitar pukul 06.00 atau lebih sedikit, Budemu sudah pergi ke pasar untuk membeli sayuran mentah lalu berdagang keliling kampung menjajakan dagangannya. Dengan kesibukan beliau yang seperti ini, mana mungkin Budemu sempat mengajarimu mengulang pelajaran di sekolah, membacakanmu cerita kesayangan, dan lain sebagainya. Begitu pun Mbakmu Hertin, dia bekerja di pabrik, biasanya pulang sekitar ashar, tetapi kalau lembur bisa pulang sampai pukul 08.00 malam.

Dengan kondisi seperti itu, Ayahmu tidak mungkin memaksa mereka mengajarimu ini-itu kepadamu, padahal kamu sangat membutuhkan bimbingan dalam pelajaran maupun dalam masalah agama. Meski di sekolah sudah kamu dapatkan semuanya, tetapi orang tua tetap harus punya peran dalam pendidikan anak di rumah. Karena itulah, Mama mengalah datang ke sini untuk mendampingi belajar dan memantau perkembangan jiwamu agar berkembang sejalan sesuai konsep pendidikan Islami.

Namun, kendala demi kendala harus Mama hadapi di sini. Budemu merasa tersingkir dari sisimu karena kamu tidak mau didekati olehnya, begitupun Mbakmu Hertin. Dia sampai menangis melihat sikapmu yang berubah 180 derajat kepadanya. Biasanya sepulang kerja kamu langsung mengajaknya ke super market buat beli ini-itu yang kamu sukai. Dia sampai harus mengeluarkan puluhan ribu untuk memenuhi keinginanmu. Karena rasa sayangnya, Mbakmu ini tetap membelikan apa yang kamu mau. (Semoga kamu nggak lupa, Le, dengan segala kebaikan Mbakmu ini). Biasanya kamu tidur dengan Mbakmu, sekarang dia tidur sendirian karena kamu tidur bareng Mama, apalagi kamarnya pun harus rela dia berikan untuk tidur kamu dan Mama. Udah gitu, kamu sudah nggak mau lagi disuapin sama Bude dan Mbakyumu, tidak mau lagi diajak ke supermarket seperti kebiasaanmu dulu. Kamu terus nempel di dekat Mama. Hal ini membuat mereka cemburu dan sakit hati. Apalagi mengingat perjuangan mereka dulu untuk menaklukkanmu. Luar biasa keras dan membutuhkan kesabaran ekstra. (Semoga kamu tidak pernah lupa perjuangan mereka mengurus dan menyayangimu, Le).

Di satu sisi Mama seneng akhirnya bisa dekat denganmu, tetapi Mama juga tidak ingin kalau kamu jadi menjauhi Bude dan Mbakmu. Namun, semua ini di luar kuasa Mama. Setiap Budemu menyinggung masalah ini Mama jadi sedih, tapi Mama nggak bisa berbuat apa-apa. Entahlah apa yang ada dalam pikiran mereka, yang pasti Mama merasa seolah menjadi “biang masalah” di sini hanya karena Mama menyayangi dan memberikan perhatian kepadamu. Salahkah Mama mencintaimu, Le? Salahkah seorang ibu ingin dekat dan bisa menyayangi anaknya? Kalau orang lain melihat kedekatan seorang ibu dengan anaknya pasti ikut bahagia, tetapi tidak dengan kedekatan kita, Le. Ternyata malah ada orang-orang yang nggak menyukai kedekatan kita. Entahlah, apa karena Mama ini hanya ibu tiri bagimu? Sehingga orang-orang terdekatmu penuh curiga dan selalu tidak percaya sama Mama.

Dalam posisi yang serba terpojok, Mama disarankan oleh Ayahmu untuk bersilaturahmi ke rumah Mbok Tuwamu (nenekmu). Begitu Mama sampai di sana Mama langsung diserbu dengan rentetan nasihat yang intinya mengkritik Mama yang sudah tega memaksa-maksa kamu untuk melakukan ini-itu serta tega menghilangkan waktu bermainmu, waktu yang memang seharusnya diberikan kepada anak seusimu.

“Bocah ki ojo dipekso-pekso. Ben kon mlaku sewajare. Ojo dipekso sinau seng banget-banget. Ojo dipekso turu awan njur ora iso dolan. Bocah sak mono kon dikon neng ngomah wae, ora entok dolan, yo mesakne.[2]” begitu sebagian nasihat Mbok Tuwo buat Mama dengan nada tinggi. Tampak emosi Simbok begitu menggunung seolah menahan “rasa” sekian lama dan baru bisa ditumpahin saat Mama datang.

Lagi-lagi Mama memilih diam. Apalagi ini menghadapi orang tua sendiri. Mama takut durhaka. Mama mendengarkan semua keluhan Simbok sambil mengelus-elus rambutmu. Kamu yang duduk di pangkuan Mama hanya terdiam meski tidak diam lembut. Kamu memang bukan tipa anak yang manis, tapi aktif. Kalau toh diam pasti ada saja yang kamu lakukan. Entah melihat sana-sini, kadang tangan dan kakimu menggerak-gerakkan sesuatu, dan sebagainya.

Malam harinya, Simbok menyuruhmu tidur karena memang sudah malam.

Kowe ki sedino mau durung turu, Le. Ndang turu to, Le, ojo kewengen.[3]” kata Mbok Tuwamu. Mama hanya membatin. Bukannya Simbok yang bilang jangan maksa anak tidur siang.

Pada keesokan harinya, karena libur sekolah, Mama nggak terlalu mengharuskanmu tidur siang seperti biasa. Kalau ngantuk ya Mama ajak tidur, kalau tidak pun Mama nggak maksain kamu tidur. Simbok kembali menyuruhmu tidur.

“Mbok bobo, to, Le.” Dengan nada keras agar kamu benar-benar mendengar ucapannya.

Saat itulah Mama bilang ke Simbok, “Dhimas tu anaknya nggak bisa dipaksa, Mbok. Kalau dipaksa malah susah. Biasanya kalau siang saya bacain dia cerita, sambil dielus-elus, lama-lama dia juga akan tertidur. Saya nggak pernah maksain Dhimas, tapi mendekatkannya dengan apa yang dia sukai. Dia suka dengan buku-buku dan suka dibacain cerita, ya saya bacain. Jadi, kalau saya bacain buku buat Dhimas bukan sedang memaksanya belajar. Walaupun mungkin dia bisa belajar dari bacaan itu, tetapi buat menina-bobokan dia juga.” (aslinya dalam bahasa Jawa)

Simbok dan Pak Tuwa diam. Entahlah, mungkin selama ini mereka sudah terbakar oleh cerita-cerita Bude Harti tentang Mama sehingga mereka emosi dan menuduh Mama telah berbuat “tidak adil” kepadamu. Akhirnya, mereka melihat sendiri bagaimana Mama mengasuhmu selama ini. Tanpa paksaan, tetapi tetap bisa mengendalikanmu. Padahal menurut orang-orang di sekitarmu, termasuk Bude dan tetangga-tetangganya, serta tetangga Mbok Tuwa, kamu termasuk anak yang super sulit diatur, ditaklukkan, dan dibuat “nurut”. @



[1] Ma, ntar bacain cerita ya kalau mau tidur!
[2] Anak itu jangan dipaksa. Biarkan berjalan dengan sendirinya. Jangan dipaksa belajar (kalau tidak mau). Jangan dipaksa tidur siang trus nggak boleh main. Anak seumur itu (seumur Dhimas) disuruh di rumah nggak boleh main kan kasihan.
[3] Kamu seharian tadi (siang) nggak tidur. Lekaslah tidur, Nak. Jangan kemalaman.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Lomba Lari

Saat Kamu Curhat

Mama Bermain Bola? Lucu Kali, Ya?