Saat Jumpa Pertama
Berwajah
bulat dengan hidung kecil dan berkulit sawo matang cenderung gelap. Itulah
gambaran dirimu saat pertama kali Mama melihat dan bertemu denganmu. Ada satu
yang paling Mama suka dari Dhimas kecil, senyum dan tawamu yang renyah dengan
gigi-gigi kecil rapi dan putih, sungguh manis. Ini yang sering membuat Mama
kangen sama kamu hingga membuat Mama tidak berhenti berusaha membuatmu
tersenyum dan tertawa.
Mama
pertama kali mengenal dan melihatmu di Jogja, di rumah Budemu. Usiamu saat itu
baru sekitar empat tahunan. Mungkin kamu sudah lupa, Le. Mama ke sana pertama
kali bareng Ayahmu dan Mbak Nimas yang sengaja ingin liburan di Jogja
bersamamu. Sudah lama kakakmu tidak bertemu denganmu. Dia sangat rindu sama
kamu, Le. Kami sampai di sana pagi hari saat kamu masih tertidur lelap. Ayahmu
langsung menemuimu di kasur. Kamu sudah tidak bercelana karena ngompol. Begitu
matamu melek, orang pertama yang kamu lihat adalah Ayah. Ayah langsung
menggendongmu.
Hari
itu juga Ayah langsung mengajak kita berempat pergi ke rumah Mbok Tua dan Pak
Tuamu (kakek dan nenekmu) yang jarak rumahnya sekitar 20 kiloan dari rumah
Budemu. Tubuhmu yang kecil masih bisa nyelip di antara tiga tubuh lain di
motor. Yah, satu motor berisi empat orang, yaitu Ayah, Mama, Mbak Nimas, dan
kamu. Meski mbakmu bertubuh kecil, tapi lebih tinggi dari Mama. Hampir seharian
kita terus bersama-sama dan kamu tampak tidak mau lepas dari Ayahmu. Kamu
begitu dekat atau bahkan seperti takut kehilangan Ayahmu. Apalagi sekian bulan
kamu sudah berjauhan dengan Ayahmu.
Sejak
ibu kandungmu meninggal, Ayahmu terpaksa menitipkan pengasuhanmu kepada Budemu.
Ayahmu harus bekerja menafkahi kalian berdua, kamu dan Mbak Nimas. Ayah
berangkat kerja pagi hari, mungkin saat kamu belum bangun tidur. Pulang kerja
sampai di rumah sekitar isya. Maklum, tempat kerja Ayahmu sangat jauh dari
rumahmu, sekitar dua jam perjalanan, baik dengan motor atau kereta api. Rumahmu
di Bekasi, sedangkan kantor Ayahmu di daerah Ancol, Jakarta Pusat. Itu sebabnya
Ayah tidak bisa mengurus kamu sendiri hingga terpaksa menitipkanmu di rumah
Budemu di Jogja.
Saat
itu Ayah dan Mama belum menikah, Le. Baru proses meminta izin dan doa restu
dengan Mbok Tua dan Pak Tua (kekek-nenekmu). Mama juga ingin melihat reaksi
kalian berdua (kamu dan kakakmu) serta kemungkinan penerimaan kalian terhadap kehadiran
Mama dalam kehidupan kalian. Kamu tidak bertanya banyak tentang sosok seorang perempuan
yang dibawa Ayahmu saat itu. Ketika Ayahmu mengenalkan dan menyebut perempuan
itu dengan sebutan “Mama” kamu hanya nyengir, tapi sepertinya kamu tidak
berkeberatan menerima perempuan itu. Perempuan itu ya “Mamamu ini” yang
menggantikan peran ibu dalam kehidupanmu dan kakakmu. Ya, Mama Indah.
Saat
kita hanya pergi bertiga (Ayah, Mama, dan kamu) mengendarai motor, kamu lebih
memilih duduk nyelip di tengah. Saat itu Mama mengambil kesempatan untuk mengelus-elus
rambutmu. Kamu tidak menolak, bahkan seperti menikmati “elusan” tangan Mama.
Semoga ini pertanda baik bahwa kamu tidak menolak kehadiran Mama. Kamu bahkan
seperti haus kasih sayang seorang ibu. Bahkan, saat tidak terlihat di hadapanmu
(mungkin sedang di ruang tamu atau di tempat lain) kamu sering nanya, “Mama
mana?” Dengan penerimaanmu yang seperti ini membuat Mama yakin untuk menerima
Ayahmu sebagai suami Mama dan ibu bagi kedua anaknya, yaitu kamu dan kakakmu
Nimas. Sehari setelah pertemuan pertama kita, Mama dan Ayah pun menikah
sehingga kita menjadi satu keluarga yang utuh.
Namun,
sayangnya kita masih belum bisa berkumpul dalam satu rumah. Mama kembali
bekerja di Bandung. Ayahmu tetap tinggal di rumah kita di Bekasi, Mbak Nimas
kakakmu tinggal di pesantren, sedangkan kamu tetap di Jogja bersama Budemu. Tiga
bulan kemudian Mama mengundurkan diri dari tempat kerja untuk full time menjadi ibu rumah tangga dan
tinggal bersama Ayahmu di Bekasi. Sebenarnya Mama ingin langsung mengasuhmu di
Bekasi, tetapi Budemu masih belum mengizinkan. Mungkin belum percaya 100% sama
Mama, apalagi Mama belum berpengalaman mengasuh anak karena Mama memang belum
pernah menikah dan memiliki anak sebelumnya. Apalagi kamu selama ini terlanjur
dicap “nakal dan sulit diatur”.
“Kasihan
Indah kalau harus langsung ngasuh Dhimas, apalagi Dhimas anaknya gini (dicap
nakal dan susah diatur),” kata Budemu memberi alasan kepada Ayahmu.
Mama
belum berani berargumentasi karena Mama belum begitu mengenal karaktermu, belum
pernah mengurusmu langsung kecuali saat bersama Ayahmu. Namun, seandainya Mama
harus mengurusmu saat itu pun Mama akan berusaha keras mengurusmu dengan baik
semampu Mama. Ini sudah menjadi risiko Mama menerima Ayahmu menjadi suami Mama sehingga
Mama pun harus siap pula mengurus anak-anaknya. Senakal-nakalnya seorang anak, masak sih tidak bisa ditaklukkan. Begitu
pikir Mama. Namun, karena Mama dan Ayah juga masih harus berusaha meng-handle kebutuhan Mbakmu Nimas, berusaha
membangkitkan semangatnya setelah kehilangan ibu kandungnya, ibu kandungmu
juga, Mama pun konsen dulu ke Mbak Nimas. Baru setalah memiliki waktu yang dirasa
tepat, Ayah akan membawamu ke Bekasi berkumpul bareng Mama dan Ayah.
Sabar
dulu ya, Le. Insya Allah pada saatnya nanti kita akan berkumpul kembali di
rumah kita. @
Komentar
Posting Komentar