Saat Dirimu Tertidur di Pangkuan Mama
Pendiam,
pemalu, dan sangat tertutup, itulah kesan pertama Mama (waktu itu belum menjadi
Mamamu karena Mama dan Ayah belum menikah) saat bertemu denganmu. Wajah manismu
terbalut jilbab besar dengan jubah khas santri pesantren salafi. Kata Ayahmu
hafalan Al Qur’anmu sudah lumayan banyak, sekitar lima juz. Wah ... Mama salut
dengan prestasimu ini. Saat Mama seusia kamu dan menuntut ilmu di pesantren,
Mama baru menghafal satu juz, yaitu juz 30. Itu pun sekarang sudah banyak yang
lupa. Mama berdoa semoga kamu menjadi hafizah yang dicintai Allah Swt. Amin.
Saat
Ayahmu mengajak Mama berkenalan dan mengaku sudah memiliki anak yang kini
menginjak remaja, sempat muncul kekhawatiran di hati Mama kalau kamu akan
menolak kehadiran Mama. Mama tahu, betapa tidak mudah menerima orang baru,
apalagi untuk menggantikan posisi orang terdekatmu selama ini, yaitu ibu
kandungmu. Mama khawatir kamu akan mengira Ayahmu tidak lagi mencintai ibu
kandungmu. Percayalah, Ayahmu tetap mencintai ibu kandungmu, menghormati, dan
tetap mengenangnya sebagai ibu dari anak-anak yang sangat dicintainya, yaitu
kamu dan adikmu. Namun, Ayahmu membutuhkan patner untuk mengurus kalian berdua.
Itu sebabnya Ayah mencari wanita pengganti ibu kalian dan akhirnya Ayahmu
memilih Mama.
“Dia
penulis, ustazah, dan penghafal Al Qur’an juga,” kata Ayahmu saat memberikan
informasi tentang Mama sebelum kita bertemu langsung. Ayahmu waktu itu hanya
memperlihatkan rekaman video Mama dari HP Ayah. Ayahmu terlalu berlebihan. Mama
memang penulis buku, pernah menjadi wartawati pula, tetapi Mama bukan hafizah
(kecuali menghafal satu juz Al Qur’an). Mama memang lulusan perguruan tinggi
Islam, tetapi tidak mengambil jalur dakwah bil
lisan alias ustazah.
“Yah,
biar dia tertarik dan pengen mengenal lebih jauh calon Mamanya,” begitu alasan
Ayahmu ketika Mama mengonfirmasi hal ini sama Ayahmu.
“Semoga
menjadi doa dan support buat Mama
biar menjadi hafizah dan ustazah,” lanjut Ayahmu lagi.
###
Ayahmu
mengajak Mama ke pesantrenmu untuk mengambil raport hasil ujian semester. Kamu
rangking tiga. Subhanallah. Mama semakin bangga kepadamu. Apalagi nilai-nilaimu
juga lumayan tinggi, hampir rata-rata sembilan. Namun, seandainya kamu tidak
rangking pun Mama akan tetap sayang sama kamu, kok.
Seperti
biasa, kamu mendapat libur semester setelah Ujian Akhir Semester (UAS). Kata
Ayah kamu ingin berlibur di Jogja, tempat adikmu tinggal sejak ibu kandungmu
meninggal dunia. Sungguh berat bagi Ayahmu berpisah dari adikmu ini. Mama yakin,
kamu pun pasti berat berpisah dengan adikmu. Kalian terpaksa harus saling
menyimpam rasa kangen dalam rentang waktu lumayan lama. Namun, kondisi
mengharuskan Ayahmu mengambil keputusan ini.
Kamu,
Ayah, dan Mama berangkat ke Jogja mengendarai bis malam. Tidak banyak hal yang
kita perbincangkan selama dalam perjalanan meski kita duduk sebangku. Mungkin
kamu masih merasa canggung, Mama pun belum menemukan cara untuk masuk ke dalam
hatimu. Mama masih meraba-raba hatimu, mungkin kamu pun demikian.
Sesekali
Mama mengelus kepalamu. “Kalau Nimas ngantuk, tiduran aja di pangkuan saya,”
kata Mama belum berani menunjukkan status “calon ibu” kepadamu. Maklum, Mama
dan Ayah baru beberapa minggu berkenalan, lewat internet pula. Mama masih belum
tahu tentang perjalanan cinta Mama dengan Ayah meski Mama berharap bisa
benar-benar menjadi ibu buat kamu dan adikmu, Dhimas.
Saat
kantukmu begitu menggelayut, Mama meraih kepalamu agar dapat terlelap di
pangkuan Mama. Kamu tidak menolak. Kamu pun tertidur di pengkuan Mama. Sampai
saat magrib tiba, Mama belum shalat, Mama menunda shalat karena tidak tega
membangunkanmu. Mama putuskan untuk menjamak shalat magrib dan isya.
“Saya
belum shalat magrib, tapi gak tega mbangunin Nimas yang tertidur di pangkuan saya.
Shalatnya saya jamak saja.” Tulis Mama via
sms ke Ayah yang duduk jauh di bangku belakang.
Tidak
berapa lama Ayahmu mendekati tempat duduk kita berdua. Ayah melongok mencari
wajahmu di balik kepala yang menghadap ke jok depan di pangkuan Mama.
“Nangis,”
kata Ayah dengan mimik tanpa suara sambil menggunakan bahasa isyarat dengan
kedua jari tangan kanannya di depan mata menggambarkan aliran air mata yang
menetes. Mungkin Ayah khawatir kalau bersuara akan mengusikmu dan membuatmu
terbangun.
Mama
hanya tersenyum sambil terus membelai-belai kepalamu yang terbalut jilbab.
Rupanya kamu belum tidur meski posisi kepalamu terus bersandar di pangkuan
Mama.
Tiba-tiba.
Cup! Sebuah kecupan dari Ayahmu bersarang di tangan Mama. Ayahmu seolah
benar-benar bahagia karena kamu bisa merasa nyaman berada di samping Mama,
bahkan bisa tertidur di pangkuan Mama.
“Nimas
sedang menikmati kelembutan dan belaian seorang ibu,” tulis sms Ayah ke HP Mama
setelah kembali duduk di bangkunya.
Lewat
pukul 22.00 WIB bis berhenti untuk beristirahat di rumah makan. Mama
membangunkanmu. Dengan wajah kuyu kamu terbangun dan memperbaiki posisi
jilbabmu. Mama pun berdiri. Tiba-tiba. Agh!...
kaki Mama sakit sekali. Kesemutan dan pegal. Rupanya berjam-jam memangku
kepalamu cukup membuat kaki Mama bereaksi seperti ini. Saat duduk tidak terasa
pegal, tetapi begitu berdiri pegal dan sakit terasa sekali. Namun, Mama tetap
bahagia. Setidaknya Mama sudah berhasil mendekatkan diri denganmu meski hanya
dengan menyediakan pangkuan Mama sebagai alas tidurmu. Sakit ini sangat kecil,
jauh lebih kecil dibanding sakit yang ibu kandungmu rasakan saat melahirkanmu.
Bahkan, tidak ada seujung kuku pun. Jadi, mengapa Mama harus mengeluh? Mama
bahkan masih siap menyediakan pangkuan Mama untuk alas tidurmu kapan pun kamu
mau. Semua karena Mama sayang kamu. Luv u
full, my honey.
Komentar
Posting Komentar