Seharian di Pantai Parangtritis


Sehari setelah Ayahmu datang ke Banyumas, kita kembali berangkat ke Jogja. Kita akan liburan di sana juga. Kamu masih ingat waktu kita liburan dan bermain bersama di Pantai Parangtritis? Kita mandi bersama di pinggir pantai setelah lama bermain-main dengan ombak air laut dan pasirnya. Lalu, kita beristirahat di penginapan dekat pantai. Kamu tertidur lelap setelah capek seharian bermain di pantai.

Kata Ayah, beberapa bulan setelah ibumu berpulang ke Rahmatullah, Ayahmu juga mengajak kalian berdua ke Parangtritis dan menginap di penginapan yang sama. Bedanya, kali ini bareng sama Mama dan Mbakyumu Hertin (anak Bude Harti). Yah, kita butuh dua motor untuk pergi ke sana. Kamu naik satu motor bareng Ayah dan Mama, sedangkan Mbakmu Nimas satu motor dengan Mbak Hertin.

Sesampainya di pantai Ayah langsung menyewa satu kamar untuk menyimpan barang-barang bawaan kita. Kamu dan Ayah lebih dulu ke pantai, sedangkan Mama, Mbak Nimas, Mbak Hertin pesan makanan dulu di kamar. Beberapa waktu kemudian kami bertiga menyusulmu ke pantai. Kami menyapu pandangan ke suluruh penjuru pantai, mencari kalian berdua di antara lautan manusia di pinggir pantai. Namun, kalian berdua tidak tampak di mata kami bertiga. Kami akhirnya memutuskan naik kuda andong sambil mencari kalian berdua. Dengan mengeluarkan kocek dua puluh ribuan, kami bertiga mengitari pinggir pantai dengan kuda andong. Hingga kami turun dari andong, mata kami bertiga belum melihat kalian berdua. Kami berjalan lagi beberapa langkah sampai akhirnya melihat sosok yang kami cari, yaitu kamu dan Ayah. Kamu yang memakai baju merah tampak lebih menonjol dari anak-anak lain yang berada di pinggir pantai. Rupanya kalian berdua sedang asyik bermain bola, melempar bola ke tengah laut lalu menunggu bola dibawa kembali ke pinggir oleh ombak air laut dan menangkapnya.

Mama dan Mbak Nimas ikut nyebur dan bermain air laut. Kita berempat sampai berbasah-basahan di pinggir pantai. Sementara Mbak Hertin hanya melihat-lihat kita berempat sambil sesekali mengabadikan aktivitas kita dengan kamera. Kadang kita membuat gundukan pasir, tinggi-tinggian, yang paling tinggi yang menang. Meski nanti akan tergerus oleh ombak pantai, kita akan berusaha membangunnya kembali secepatnya. Namun, kita harus berhati-hati karena serangan ubur-ubur bisa setiap saat menggigit kulit kita. Di pinggir-pinggir pantai sampai dipasang papan bertuliskan anjuran agar pengunjung berhati-hati dengan ubur-ubur. Konon ceritanya sengatan ubur-ubur bisa membuat kita sakit panas, bahkan bisa mematikan. Na’udzubillahi min zalik. Sesekali kita menemukan ubur-ubur, dari ukuran kecil sebesar kelereng hingga sebesar bola kasti, hanya saja tidak bulat, tetapi pipih kayak telur dadar. Warnanya yang bening seperti jeli nyaris tidak tampak di gelapnya pasir hitam. Itu yang membuat ubur-ubur sering terinjak kaki manusia hingga tersengat.

Puas bermain ombak dan pasir, kita pergi ke pinggir pantai untuk membersihkan tubuh. Dengan membayar Rp.1.000,00/orang kita puas membersihkan badan dari kotornya pasir dan asinnya air laut dengan air tawar yang dipompa petugas dari dalam tanah. Kamu dan Mbak Nimas bahkan masuk ke wahana kolam renang sederhana yang terbuat dari terpal besar dan lebar yang diisi air tawar. Setelah badan bersih, meski kondisi tubuh basah, kita kembali ke kamar penginapan kita untuk mandi dan ganti pakaian.

Capek mulai terasa. Kita pun memesan makanan, ada nasi goreng, mie instant, kelapa muda, dan sebagainya. Kenyang. Tidur deh. Semua tertidur, kamu yang paling lelap. Mama dan Ayah bergantian tempat sambil ngepok-ngepok pantatmu agar tidurmu lelap. Mbak Nimas hanya tidur sebentar. Mbak Hertin saja yang nggak tidur. Dia asyik nonton TV dan sesekali mengotak-atik HP, mungkin sms-an atau main game.

Sore hari bakda ashar kita kembali ke rumah Bude Harti. Sampai di rumah maghrib. Usai makan malam kita kembali ke rumah Mbok Tua. Keesokan harinya Ayahmu harus kembali ke Bekasi untuk bekerja. Kakakmu sebenarnya masih punya hari libur, tapi dia katanya pengen liburan di Bekasi juga. Mama ngikut saja. Kalau dia di Bekasi nggak sama Mama, ntar siapa yang masakin makanannya. Jadi, keesokan harinya kita semua pamit meski tidak bersamaan. Ayahmu pulang duluan pada pagi hari dengan mengendarai motor, siang harinya Mama dan Mbak Nimas pulang naik bis.

Saat Ayahmu pamitan kamu masih biasa saja, mungkin karena masih ada Mbak Nimas dan Mama. Beberapa jam sebelum Mama dan Mbak Nimas berangkat kamu masih terlihat ceria meski Mama bilang kami akan kembali ke Bekasi, ke rumah kita tanpa membawa serta dirimu. Kamu bahkan bertanya-tanya seolah taksabar ingin segera kami pergi.

Mangkate jam pira ta? Kok ra ndang mangkat[1],” katamu beberapa jam sebelum berangkat.

“Kenapa? Pengen Mama sama Mbak Nimas cepet berangkat? Nggak nangis, po ditinggal?” kata Mama.

Mama mengira kamu bakal tegar setelah kami tinggal nanti hingga seolah taksabar ingin segera melihat kami berangkat. Begitu tiba waktunya berangkat, seperti biasa kamu beringsut. Mingsek-mingsek, air mata mulai berjatuhan di pipimu. Kamu bahkan nggak mau dipamiti dan disalami. Sampai akhirnya kami menaiki motor kami masing-masing dengan diantar Pakde dan kakakmu Angga, kamu nangis kejet. Kamu yang saat itu digendong Bude Harti berontak dari gendongan hendak turun sambil menunjuk ke arah Mama.

“Mama… Mama…., ” teriakmu ingin ikut serta pergi bersama Mama.

Budemu semakin mengeratkan pegangannya ke tubuhmu. Tubuh kecilmu pun kalah dan tidak mampu berontak turun. Mama tidak tega. Hati Mama teriris, ingin sekali Mama menangis. Mama juga ingin turut serta membawamu ke Bekasi. Namun, bagaimana pun Mama tetap harus berangkat ke Bekasi dengan meninggalkanmu bersama Bude Harti di Jogja karena kamu masih harus meneruskan sekolah di sana. Dalam perjalanan Mama masih terus terbayang wajah sedihmu saat kami tinggal. Tangis dan teriakanmu, “Mama… Mama ….,” Hati Mama benar-benar teriris, Le. Hati Mama juga sedih berpisah denganmu. Setiap mengingat peristiwa ini Mama sampai harus menyesap air mata. Sendainya mampu Mama ingin memeluk dan meraih tubuhmu lalu membawa serta ke Bekasi, kita berkumpul bersama di rumah kita, Le.

Mengapa harus ada perpisahan ini?

“Ya Allah… ternyata begitu sedih berpisah dengan anak. Meski dia bukan darah dagingku, tapi hamba menyayanginya dengan sepenuh hati. Dia memang tidak lahir dari rahimku, tetapi dia lahir dari hatiku. Allah, satukan kami dalam cinta yang membuat kami semakin dekat kepada-Mu. Amin.” @


[1] Berangkatnya jam berapa sih? Kok nggak segera berangkat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saat Kamu Curhat

Mama Bermain Bola? Lucu Kali, Ya?

Lomba Lari